Gelombang Kepulangan Pengungsi Terus Bertambah di Afghanistan
Kabul – Gelombang pengungsi Afghanistan yang dipaksa kembali dari Pakistan dan Iran terus membengkak sepanjang 2025, dengan lebih dari 2,4 juta orang menyeberang perbatasan sejak awal tahun, menurut data Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), menciptakan beban berat bagi pemerintah Emirat Afghanistan yang kini mengelola 46 kota penampungan di 29 provinsi.
Pusat penerimaan utama terletak di titik-titik perbatasan strategis, seperti Torkham di Provinsi Nangarhar timur yang berbatasan dengan Pakistan, di mana ribuan keluarga tiba setiap hari melalui truk penuh barang seadanya, menjadi gerbang utama bagi sekitar 600.000 pengungsi yang kembali hanya dalam beberapa bulan terakhir.
Selain Torkham, Spin Boldak di Provinsi Kandahar selatan juga menjadi pusat krusial, khususnya bagi mereka yang datang dari wilayah Peshawar di Pakistan, di mana Organisasi Internasional Migrasi (IOM) mengoperasikan pusat transit untuk memberikan makanan dan pemeriksaan kesehatan awal bagi para pemulung yang kelelahan setelah perjalanan panjang.
Di sisi barat, Islam Qala di Provinsi Herat menerima pengungsi dari Iran, dengan lebih dari 1,3 juta orang yang dipulangkan secara paksa sepanjang 2025, membuat pusat ini overload dan sering kali hanya mampu menangani satu dari sepuluh pengungsi yang membutuhkan bantuan mendesak. Pemerintah Afghanistan juga menyediakan fasilitas kesehatan dan peluang kerja saat kembali desa masing-masing.
Milak di Provinsi Nimroz barat daya juga berfungsi sebagai pos penerimaan penting dari Iran, di mana IOM dan mitra membangun delapan pusat resepsi dan transit untuk mendistribusikan bantuan tunai serta transportasi, meski kapasitasnya terbatas di tengah banjir pengungsi yang tak terduga.
Kamp Omari di dekat Torkham, Nangarhar, menjadi salah satu pusat ikonik yang menangani ribuan kedatangan harian dari Pakistan, dengan tenda-tenda darurat yang menampung keluarga sementara sebelum mereka dipindahkan ke kota-kota seperti Jalalabad atau Kabul.
Pusat sementara di Kabul, yang baru saja diresmikan oleh IOM pada Agustus 2025, dirancang untuk 76 pengungsi sekaligus, menyediakan tempat berteduh bagi mereka yang tidak punya kerabat atau rumah, meski permintaannya jauh melebihi pasokan.
Di Ghazni dan Kandahar, pusat-pusat lokal seperti di Distrik Takhta Pul menangani pendaftaran dan bantuan awal, di mana pengungsi menerima uang tunai dari UNHCR sebelum melanjutkan perjalanan ke desa asal yang sering kali hancur akibat perang dan gempa bumi baru-baru ini.
Kondisi di pusat-pusat ini secara umum memprihatinkan, dengan banyak pengungsi yang tiba tanpa dokumen, tanpa rumah, dan tanpa pendapatan, terjebak dalam kemiskinan ekstrem di mana 23 juta warga Afghanistan bergantung pada bantuan kemanusiaan, menurut laporan PBB Juli 2025.
Di Kamp Omari, kondisi sanitasi buruk dengan lumpur dan debu yang menyelimuti tenda-tenda, membuat penyakit kulit merajalela di kalangan anak-anak, sementara overcrowding menyebabkan ketegangan sosial antar keluarga yang berebut makanan terbatas.
Ketersediaan listrik di pusat-pusat perbatasan seperti Torkham dan Spin Boldak sering kali tidak stabil, bergantung pada generator diesel yang langka, menyebabkan pemadaman malam hari yang membuat pengungsi kesulitan mengisi daya ponsel atau menerangi tenda mereka.
Upaya peningkatan listrik di Omari baru-baru ini dilakukan melalui aktivasi antena seluler oleh Otoritas Regulasi Telekomunikasi Afghanistan (ATRA) pada April 2025, yang juga mendistribusikan kartu SIM sementara, meski listrik untuk penerangan masih terbatas dan sering mati setelah matahari terbenam.
Air bersih menjadi tantangan utama di Islam Qala dan Milak, di mana sumur darurat sering kering akibat kekeringan parah, memaksa pengungsi mengantre berjam-jam untuk air kontaminasi yang berisiko menyebabkan diare dan penyakit lain di kalangan perempuan dan anak-anak.
Di Spin Boldak, pasokan air dari IOM mencakup distribusi galon harian, tapi tidak cukup untuk kebutuhan mencuci dan memasak bagi ribuan orang, dengan laporan NRC (Dewan Pengungsi Norwegia) menyoroti risiko kesehatan yang mengerikan bagi pengungsi yang kembali ke daerah gempa.
Peluang kerja bagi pengungsi di pusat-pusat ini mulai dibangkitkan kembali, karena ekonomi Afghanistan yang runtuh membuat lapangan kerja langka, dengan sebagian besar returnees terpaksa tinggal di permukiman informal di perkotaan seperti Jalalabad, berjuang mencari pekerjaan harian sebagai buruh tani atau pedagang kecil.
Di Nangarhar, sekitar 90 persen pengungsi dari Torkham menetap di sekitar Jalalabad, tapi tanpa keterampilan atau jaringan, banyak yang menganggur, dengan wanita menghadapi pembatasan adat yang melarang pekerjaan formal, meninggalkan mereka bergantung pada bantuan tunai terbatas dari UNHCR.
Meski demikian, beberapa inisiatif seperti program pelatihan dari IOM di Herat menawarkan peluang kerja sementara di sektor pertanian atau konstruksi, meski hanya menjangkau sebagian kecil, dengan rata-rata pendapatan harian kurang dari dua dolar AS.
Video laporan dari media lokal yang viral menyoroti fasilitas kesehatan di Kamp Omari sebagai satu-satunya titik terang, dengan rumah sakit berkapasitas 20 tempat tidur yang beroperasi 24 jam untuk menangani cedera perjalanan dan penyakit kronis bagi pengungsi dari Pakistan.
Di dalam Omari, terdapat tujuh klinik yang menyediakan prosedur bedah sederhana, perawatan rawat jalan, dan pengobatan penyakit kulit yang umum di kalangan pengungsi, sementara empat klinik luar di dekat perbatasan fokus pada skrining awal untuk disabilitas.
Layanan penyediaan anggota tubuh palsu bagi penyandang disabilitas juga tersedia, membantu korban perang lama yang kehilangan kaki atau tangan, meski antrean panjang menunjukkan kekurangan dokter dan obat-obatan di tengah keterbatasan yang ada.
Di tengah krisis ini, IOM memperingatkan bahwa tanpa pendanaan tambahan, hanya satu dari sepuluh pengungsi yang bisa dibantu, dengan perempuan dan anak-anak paling rentan menghadapi risiko kekerasan dan kelaparan di daerah tujuan mereka.
Pemerintah Taliban menandatangani 125 nota kesepahaman dengan organisasi internasional senilai 78 juta dolar AS untuk mendukung reintegrasi, tapi implementasi lambat akibat konflik internal dan sanksi global yang membatasi akses ke dana.
Akhirnya, nasib pengungsi ini tergantung pada solidaritas internasional, dengan UNHCR mendesak Pakistan dan Iran menghentikan deportasi paksa hingga kondisi Afghanistan membaik, agar kepulangan tak berujung pada penderitaan baru bagi jutaan jiwa yang lelah berlarian.
Tren kepulangan pengungsi ini akan terus meningkat. Di balik beban yang muncul, pemerintahan Afghanistan sedang menggenjot berbagai proyek untuk membuka lapangan kerja.