Redaksi 12:26 AM
ilustrasi
Hubungan Turki dengan negara-negara Eropa memanas baru-baru ini, khususnya Jerman, Belanda dan Austria.

Satu yang menarik adalah ketika Presiden Turki Recep Erdogan membongkar keterlibatan Jerman dalam melindungi dan membina teroris. Jerman pun membantah (baca).

Namun apa yang disebut Erdogan bukan isapan jempol. Jerman sebagai produsen teroris tidak hanya soal gerakan Gulen yang bermusuhan dengan Erdogan atau kelompok-kelompok separatis Kurdi yang anti Turki baik di dalam negeri maupun Suriah. (baca)

Jauh sebelum NATO mempunyai program Operasi Gladio-B (baca), untuk melatih para teroris menghantui warga Eropa, Jerman telah sejak perang dunia I mempelopori terorisme. (baca)



Adalah Max von Oppenheim (baca) pegawai Jerman keturunan Yahudi, yang menjadi pencetusnya. Dia, yang kadang disebut juga dengan Abu Jihad ("Father of Holy War"), mengarang beberapa publikasi teror yang dibahasaarabkan, agar kelihatan Islami, untuk menjadi 'kitab suci' kalangan teroris.

Selebaran provokasi jihad yang dibuat Max von Oppenheim mencatut nama Sultan Turki
Saat itu, walaupun sebagai penghasil misionaris ulung di berbagai negara, Jerman, bersama Ottoman, berseteru dengan negara-negara Eropa lainnya.

Dia diberi wewenang untuk merekrut para tahanan Muslim tak berdaya di 'Half Moon Camp' untuk menjadi pelaku teror dan penyebar ke negara-negara jajahan yang berpenduduk Muslim.

Saat ini hampir semua negara Barat mempunyai program yang sama yang dirintis Oppenheim. CIA, FBI, Rusia dll disebut bahkan mempunyai ribuan 'binaan' dalam proyek serupa.

Redaksi 4:07 AM

Sebanyak 160 orang tewas dalam tiga bulan bentrokan antara militer dan kelompok etnis bersenjata di negara bagian Shan, Myanmar. Menurut pejabat senior Myanmar, pada Selasa (28/2), bentrokan terjadi di tengah upaya untuk memulai kembali perundingan perdamaian.

Lebih dari 20.000 orang telah mengungsi sejak pertempuran antara tentara dan beberapa kelompok etnis bersenjata meletus di dekat perbatasan Tiongkok pada akhir November.

Kerusuhan telah merebak di seluruh negara bagian Shan dan negara bagian Kachin. Kondisi ini menghambat upaya pemerintah Aung San Suu Kyi untuk mengakhiri dekade panjang konflik di perbatasan negara.

Serangan militer yang telah berlangsung sejak pertengahan 2016, semakin meningkat setelah beberapa kelompok bersenjata, yang dikenal sebagai Aliansi Utara, melancarkan serangan besar di Shan utara. Militer Myanmar lalu meresponsnya dengan artileri berat dan serangan udara.

Para ahli mengatakan pertempuran di daerah perbatasan menjadi sangat intens sejak 1980-an. Situasi itu telah mendorong PBB untuk memperingatkan terjadinya krisis kemanusiaan di daerah konflik, khususnya di Kachin, tempat sekitar 100.000 orang mengungsi sejak 2011, dilaporkan Suara Pembaharuan

Lebih jauh, kepala staf umum militer Myanmar memaparkan jumlah korban tewas akibat bentrokan. Paling tidak, ada 74 tentara, 15 polisi, 13 pejuang milisi pemerintah dan, 13 warga sipil dinyatakan tewas.

“Kami menemukan 45 mayat musuh dan menangkap empat orang,” kata Jenderal Mya Tun Oo di Naypyidaw, seraya berspekulasi bahwa ratusan pemberontak mungkin telah tewas dalam kekerasan itu.

Informasi tentang jumlah korban tewas muncul saat pemerintah Myanmar mempersiapkan untuk putaran kedua pembicaraan damai pada Maret. Negosiasi telah berulang kali dilakukan karena kebuntuan politik dengan kelompok-kelompok bersenjata.
 
Powered by Blogger.